Musim iniSebelum bernama Persib Bandung, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot pulalah yang tercatat sebagai Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan di luar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.
Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (sekarang Persebaya), MIVB (PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI
dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB
dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian
kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. BIVB berhasil
masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga
diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia
Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak
sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung ke dalam Persib adalah
SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA,
dan Merapi.
Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934,
dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali
masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda
yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini
kerap memandang rendah Persib. Seolah-olah Persib merupakan perkumpulan
"kelas dua". VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah
pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib ketika itu
sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegallega dan Ciroyom.
Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang
digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu
dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Persib memenangkan "perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepak bola
satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang
tadinya bernaung di bawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung
dengan Persib. Bahkan VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu
strategi) kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka
pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang,
kegiatan persepak bolaan yang dinaungi organisasi dihentikan dan
organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan
juga di seluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa
vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan
baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.
Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang.
Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa
Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana
perjuangan tidak berubah sedikitpun.
Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali
menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib
untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar di berbagai kota,
sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.
Baru tahun 1948
Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian
membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup
lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia
Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja
dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa
pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara
lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada
satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, dekade 50-an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah-pindah sekretariat. Wali Kota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.
Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi
perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib
tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.
Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis
pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan
keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995.
Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus
dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan
menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil
menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.
Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya
terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.
Sebagai tim yang dikenal baik, Persib juga dikenal sebagai klub yang
sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun
senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Heri Kiswanto, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nur'alim, Yaris Riyadi hingga generasi Erik Setiawan dan Eka Ramdani
merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib. Sampai saat ini
Persib Bandung adalah tim Indonesia yang bisa di bilang paling
dibanggakan oleh Indonesia karena prestasi dan kemampuannya.
Jalan panjang Persib
PERSIB Bandung selalu punya tempat istimewa di hati bolamania
nasional. Kekaguman dan kecintaan mereka, para penggila sepak bola
nasional, menyebar ke seantero negeri. Melewati batas wilayah Bandung dan Jawa Barat,
tempat jagoan Bandung dibidani. Kemegahan sepak bolanya tidak mampu
ditepis. Selalu memanggil dan menggali perhatian para pecandu sepak bola
nasional untuk tidak sekejap pun melepaskan perhatiannya pada sosok
Persib Bandung.
Tak peduli prestasinya tengah tenggelam, pesona Pangeran Biru julukan
lain Persib Bandung– tetap membius bolamania nasional. Stadion
Siliwangi, Bandung, markas keramatnya, tidak pernah sepi dari dendang
riang penggilanya. Bobotoh setianya tetap saja tumplek dan menyatu di
sana. Tidak sekalipun mereka pergi menjauh. Apalagi berpaling hati.
Tetap setia mendampingi timnya mesti air mata terus mengucur.
Yang paling fenomenal Stadion Utama Senayan, Jakarta, selalu penuh
oleh ribuan pendukung Persib dan bolamania nasional, jika jagoan Bandung
menembus babak final Divisi Perserikatan dan Divisi Utama Liga
Indonesia. Menjadi aset penyelenggara pertandingan yang paling
menggiurkan adalah ikon yang tidak terbantahkan. Tidak terhapus oleh
zaman.
“Sungguh. Kalau siaran langsung sepak bola di Indonesia tidak dibagi
rata antar stasiun televisi nasional, banyak stasiun yang ingin membeli
hak siar pertandingan Persib,” jelas Asdedi, salah seorang produser
televisi ANTV, sebelum hak siar jatuh ke stasiun televisi tersebut.
Tak aneh serombongan pemain nasional atau mantan nasional, bahkan
yang baru muncul sekalipun di pentas sepak bola nasional, berlomba-lomba
melamar untuk melebur ke tim “Maung Bandung”. Mereka percaya, namanya
bakal cepat berkibar, dikenal banyak orang dan kembali dilirik tim
nasional karena bisa mendarat di tim dengan reputasi besar di pentas
sepak bola nasional.
”Persib adalah tim besar. Permainannya cantik. Pendukungnya luar
biasa. Nama besarnya di pentas sepak bola nasional adalah garansi bagi
kami untuk bisa menembus level nasional. Bermain di Persib adalah
kesempatan besar mengembangkan karier sepak bola,” begitu ungkapan umum
yang biasa dilontarkan pemain pendatang ketika pertama kali meleburkan
dirinya dengan tim pujaan masyarakat Bandung dan Jawa Barat.
Back on track, begitulah fenomena yang menyertai langkah para pemain
di tim Persib. Kebersamaan mereka menyemburkan hasrat berprestasi
tinggi. Menggelorakan asa dan menjulangkan harkat diri sebagai pemain
sepak bola jempolan yang beredar di pentas nasional. Hingga masa edarnya
di Divisi Utama semakin panjang. Yang pada gilirannya menjadi salah
satu legenda di semua hajatan kompetisi yang diakui PSSI.
“Saya memang banyak memperkuat klub yang beredar di Liga Indonesia.
Tapi terasa tidak lengkap karier sepak bola saya karena tidak bisa
menjadi bagian Persib. Padahal, saya begitu bernafsu ingin membela
Persib setelah sukses bersama Bandung Raya. Entah kenapa manajemen tim
Persib tidak sekalipun mau memalingkan pilihan pada diri saya,” sembur
Kisito Piere Olinga ‘Kopa’ Atangana.
Besarnya animo pemain berlabuh di lambung “Maung Bandung” membuktikan
Persib tim yang tak pernah terpinggirkan. Selalu jadi dambaan dan fokus
utama pengembangan karier sepak bolanya. Mengenakan kaus kebesaran
“Maung Bandung” praktis gengsi pemain melambung tinggi. Sekejap saja,
mereka bisa jadi selebritis. Diburu tanda tangannya. Dimintakan wajahnya
untuk menghiasi berbagai layar kaca. Baik itu di stasiun televisi lokal
atau di telepon genggam berfasilitas kamera yang selalu dibawa
bobotoh-nya.
Selain karena Persib sudah menjadi ikon Jawa Barat, iklim sepak
bolanya penuh warna. Benar-benar colourfull. Meriah sejak pembentukan
tim hingga kompetisi usai digelar. Sejarah besarnya di pentas sepak bola
nasional, dan fanatisme pendukungnya luar biasa adalah magnet yang
tidak bisa dielakan begitu saja oleh pecandu bola nasional.
“Atmosfer sepak bola di Bandung benar-benar jempolan. Saya begitu
kagum melihat dukungan penonton yang hebat dan luar biasa. Tidak hanya
di partai sesungguhnya di ajang kompetisi, di partai uji coba pun
penonton melimpah dan membludak hingga pinggir lapangan. Hebat,” puji
Redouane Barkaoui, tukang gedor “Maung Bandung” asal Maroko.
“Atmosfer sepak bola di Bandung memang tiada duanya. Hasrat bobotoh
mendukung timnya patut diapresiasi dengan prestasi membanggakan.
Dukungan bobotoh yang tidak pernah surut adalah motivator utama saya
dalam mengibarkan sepak bola prestasi bersama Persib”, sambung Christian
Bekamenga Bekamengo, pemain asing termahal di Persib .
Perhatian bolamania nasional kepada Persib memang tidak pernah putus.
Tradisi juara yang melekat di dirinya memungkinkan Persib terus menjadi
bagian tidak terpisahkan dari masyarakat sepak bola Indonesia. Apa yang
dibuat dan dihamparkan Persib, selalu jadi tolak ukur persepak bolaan
nasional. Geliat Persib pasti mengundang orang untuk menengok. Dan
memberikan perhatian lebih untuk lebih dalam menyimak dapur pacu jagoan
Bandung.
Tak aneh, dalam setiap hajatan sepak bola tingkat nasional, kehadiran
jagoan Bandung selalu mendapat perhatian lebih dari bolamania nasional.
Namanya selalu disebut-sebut jadi kandidat kuat mengalungkan gelar
juara pada setiap hajatan sepak bola nasional yang diikutinya. Buntutnya
lahirlah stigma yang berlaku umum di jagad sepak bola nasional.
Apa? Ini : Lebih baik kalah dari tim lain ketimbang dari Persib.
Sukses mengalahkan Persib adalah kemenangan luar biasa. Bahkan nilai
minimal yang dipetik tim lawan saat merumput di Stadion Siliwangi, kerap
diidentikan dengan sebuah kemenangan. Melulu karena, Persib bukan tim
sembarangan. Kualitas sepak bolanya mumpuni. Orkestra sepak bolanya,
indah dan menghayutkan lawan-lawannya. Memberi kabar buruk pada lawan
adalah kabisanya.
Indikatornya kemeriahan prestasi yang mengitari Persib Bandung
sepanjang partisipasinya di pentas sepak bola nasional. Untuk pentas
Divisi Utama Perserikatan misalnya, Persib mengalungi gelar juara
sebanyak lima kali. Gelar itu disunting jagoan Bandung tahun 1937, 1961, 1986, 1990, 1994. Bahkan kompetisi Liga Indonesia perdana 1994/95
menjadi milik Persib, usai mematahkan perlawanan tim elit Petro Kimia
Putra 1-0 di partai final lewat gol semata wayang yang disunting bomber
Sutiono Lamso.
Tentu, bukan hanya event itu yang mewarnai perjalanan prestasi “Maung
Bandung”. Masih banyak pentas lainnya yang memberi suka bagi penggila
fanatiknya. Juara Surya Cup (Surabaya) 1978
digapai usai mematahkan perlawanan Persija 1-0. Gol emas itu
disumbangkan Max Timesela. Dua tahun sebelumnya, gelar yang sama juga
dipetik jagoan Bandung. Yusuf Cup 1975 dan 1977 juga dipuncaki anak-anak Bandung.
Bahkan, usai jadi runner-up Yusuf Cup VIII/1979, setahun kemudian
Persib mencuri gelar juara di turnamen kebanggaan masyarakat Ujung
Pandang. Masih pada tahun yang sama, Piala Gubernur Sumatera Selatan
juga masuk ke lemari prestasi Persib meski jagoan Bandung hanya
nangkring di peringkat ketiga.
“Sepanjang ingatan saya, hanya turnamen Marah Halim Cup (Medan) yang
tidak pernah bisa di raih Persib. Tapi di turnamen lainnya yang tersebar
di banyak daerah, macam Yusuf Cup (Makasar) dan Tugu Muda (Semarang),
Persib sempat tampil sebagai juara,” cerita Encas Tonif, mantan pemain
Persib era 70-an/80-an.
Di ajang regional, pesona Persib pun merona. Tahun 1986,
usai Persib memuncaki kompetisi Perserikatan Divisi Utama, Piala Sultan
Khasanah Bolkiah berhasil dibawa pulang ke Bumi Pajajaran. Di partai
final, Persib yang mendapat tenaga tambahan dari libero terbaik
Indonesia saat itu Herry Kiswanto, mengalahkan tim nasional Malaysia.
Gol kemenangan jagoan Bandung dilesakan Yusuf Bachtiar, yang kemudian
melegenda sebagai dirijen utama Persib di Liga Indonesia.
“Kita bisa menjadi juara di Piala Sultan Hasanal Bolkiah karena
Persib memang sedang di puncak prestasi. Dan memenuhi pra syarat sebagai
tim juara. Di semua lini permainan tidak ada sama sekali celah yang
bisa mengandaskan impian kami dalam mengibarkan sepak bola prestasi.
Teknis dan non teknis jempolan. Tidak ada sama sekali ganjalan untuk
menjadi the champion. Juara memang tinggal menunggu waktu saja,” ungkap
Bambang Sukowiyono.
Di ajang Piala Champion Asia 1995 aksi anak-anak Bandung pun
gilang-gemilang. Tim besutan Indra M. Thohir membukakan mata sepak bola
internasional. Bermodalkan dua kemenangan atas Bangkok Bank (Thailand)
dan Pasay City (Philipina) pesaingnya di babak awal Persib yang datang
dengan status tim amatir, di antara para raksasa Asia dengan sepak bola
profesionalnya, mampu merangsek hingga babak perempatfinal wilayah Timur
yang digelar di Stadion Siliwangi.
Sayang, tim pujaan masyarakat Tatar Pasundan tidak mampu berbuat
lebih banyak lagi. Langkah raksasa mereka pun terhenti sampai di situ,
setelah Verdy Kawasaki (Jepang) memberi luka 1-3, ditundukan Thai
Farmers Bank (Thailand) 2-3, dan dihempang Ilhwa Chunwa (Korea Selatan)
1-4. Kendati begitu, Persib masih bisa tersenyum. Karena Indra M Thohir,
sang sutradara terpilih sebagai pelatih terbaik Asia versi AFC
(Asosiasi Sepak bola Asia).
“Kalah dan terhenti di babak perempatfinal Wilayah Timur memang sudah
diprediksi. Lawan yang kita hadapi, kualitasnya jauh di atas
lawan-lawan Persib di babak penyisihan sebelumnya. Tapi, apapun adanya,
langkah Persib sudah terekam dalam sejarah perhelatan Piala Champion
Asia. Tim amatir tetapi mentalnya sangat profesional, sulit dilahirkan
lagi dalam waktu yang relatif pendek,” jelas Asep Kustiana, yang merobek
gawang Chunwa lewat titik penalti.
Secara resmi, Persatuan sepak bola Indonesia Bandung (Persib) berdiri
pada tanggal 14 Maret 1933. Menurut berbagai catatan, yang menjadi
embrio Persib adalah sebuah klub yang dijadikan alat perjuangan kaum
nasionalis bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB). Klub yang
didirikan sekitar tahun 1923 ini, menjadi salah satu klub yang turut mendirikan Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930 di Yogyakarta. Tercatat, ketika itu BIVB dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mr. Syamsoedin.
Berdasarkan catatan yang ada, pada tahun-tahun berikutnya, BIVB
dipimpin oleh R. Atot, putra tokoh pejuang wanita Dewi Sartika. Pada
saat itu, yang menjadi kandang BIVB adalah di Lapangan Tegallega, di
depan tribun pacuan kuda. Ketika itu BIVB juga sudah mewakili Bandung
dalam kejuaraan nasional. Tercatat BIVB pernah menjadi runner-up
kejuaraan nasional pada tahun 1933
yang digelar di Surabaya, di bawah VIJ Jakarta. Prestasi serupa diraih
BIVB pada kompetisi tahun berikutnya di Bandung. Namun, dalam beberapa
tahun kemudian, BIVB menghilang dari peredaran.
Pada awal dekade 30-an,
di Bandung juga muncul dua perkumpulan sepak bola lain yaitu Persatuan
sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetbal Bond (NVB).
Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi
dan muncullah perkumpulan sepak bola baru bernama Persib. Anwar St.
Pamoentjak tercatat sebagai ketua umum pertamanya. Klub-klub yang
menjadi anggota Persib ketika itu adalah SIAP, Soenda, Singgalang,
Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA dan Merapi.
Selain Persib, pada saat itu, di Bandung ada juga perkumpulan sepak
bola milik orang-orang Belanda bernama Voetbal Bond Bandung &
Omstreken (VBBO). Karena perkumpulan ini lebih banyak memainkan
pertandingannya di Lapangan UNI dan SIDOLIG yang berada di pusat kota,
orang-orang VBBO selalu memandang Persib sebagai perkumpulan kelas dua.
Pasalnya, ketika itu Persib memang memainkan
pertandingan-pertandingannya di pinggiran kota seperti Tegallega dan
Ciroyom. Karena berada di tengah kota, warga kota Bandung pun lebih
senang menyaksikan pertandingan VBBO.
Tapi, menjelang pendudukan Jepang, Persib menjadi satu-satunya
perkumpulan sepak bola di Bandung, karena VBBO membubarkan diri. Saat
itu, VBBO juga menyerahkan tiga lapangan yang biasa dipakainya yaitu
UNI, SIDOLIG dan SPARTA (kini Stadion Siliwangi) kepada Persib. Selain
itu, beberapa klub anggota VBBO seperti UNI dan SIDOLIG juga bergabung
dengan Persib.
Sayang, pada masa pendudukan Jepang, seluruh kegiatan persepak bolaan
di tanar air, tak terkecuali Bandung dihentikan dan perkumpulannya
dibredel. Persib pun mengalami hal yang sama, karena pemerintahan
kolonial Jepang juga mendirikan sebuah perkumpulan yang memayungi
seluruh kegiatan olahraga bernama Rengo Tai Iku Kai.
Kendati tidak eksis, namun semangat Persib tetap hidup di hati
tokoh-tokoh sepak bola dan pejuang Bandung ketika itu. Tidak heran,
ketika Indonesia merdeka dan Jepang terusir dari tanah air, Persib
langsung kembali menunjukkan eksistensinya. Namun, karena situasi dan
kondisi saat itu, Persib terpaksa didirikan kembali di Tasikmalaya,
Sumedang dan Yogyakarta. Pasalnya, para tokoh Persib yang kebanyakan
pejuang dan prajurit Siliwangi ketika itu harus meninggalkan Bandung
untuk hijrah ke Yogyakarta. Baru pada tahun 1948,
Persib bisa dihidupkan kembali di Bandung oleh beberapa tokoh di
antaranya dr. Musa, H. Alexa, Rd. Sugeng dan A. Munadi yang kemudian
ditunjuk sebagai ketua.
Kendati demikian, kehadiran pemerintah kolonial Belanda yang masuk
dengan mendompleng tentara sekutu (NICA) kembali merongrong eksistensi
Persib. Pemerintah kolonial Belanda kembali ingin menghidupkan VBBO.
Namun, upaya Belanda itu kembali gagal dan Persib tetap menjadi
satu-satunya perkumpulan sepak bola di Bandung hingga saat ini.
1930-1990an: Persib dan Kompetisi Perserikatan
Selain menjadi deklarator berdirinya PSSI pada tanggal 19 April 1930
di Yogyakarta, Persib pun berperan besar dalam mendorong PSSI untuk
menggelar kompetisi antar perserikatan yang menjadi anggotanya. Pada
tahun 1937, kompetisi reguler yang sudah dirintis jauh-jauh hari itu
akhirnya terlaksana. Kompetisi Perserikatan pertama digelar di Solo dan
Persib tampil sebagai kampiun.
Tonggak sejarah emas itu ditorehkan Persib setelah menghancurkan
raksasa sepak bola Indonesia ketika itu, Persis Solo 2-1 di Stadion
Sriwedari, Solo. Berdasarkan sejumlah catatan yang ditemukan, sejumlah
nama pemain yang memperkuat Persib di partai tersebut antara lain Enang Durasid, Komar, Jasin, Arifin, Kucid, Edang, Ibrahim Iskandar, Saban, Sugondo, dan Adang.
Sayang, setahun kemudian Persib gagal mempertahankan gelarnya. Dalam kejuaraan yang kembali dipentaskan di Solo, VIJ Jakarta tampil sebagai kampiun setelah menjungkalkan Persebaya Surabaya. Pada tahun 1939,
dalam kejuaraan yang digelar di Yogyakarta, nama Persib kembali muncul,
meski hanya menempati peringkat ketiga di bawah Persis dan tuan rumah
PSIM. Sejumlah nama pemain yang tercatat memperkuat Persib ketika itu
adalah Jasin, Komar, Sugondo, Enang, Durasid, Ana dan Z. Arifin. Pada
tahun 1940, nama Persib kembali menghilang catatan.
Memasuki dekade 40-an,
situasi politik dalam negeri ketika itu banyak mengganggu jalannya
Kompetisi Perserikatan. Apalagi, pemerintahan kolonial Jepang membredel
seluruh perkumpulan sepak bola yang ada di tanah air, termasuk PSSI. Setelah Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945,
kompetisi belum juga bisa digulirkan, karena pemerintah kolonial
Belanda kembali masuk ke Indonesia dengan mendompleng tentara sekutu
(NICA). Pada dekade itu, Kompetisi Perserikatan hanya bisa digelar lima
kali yaitu pada tahun 1941, 1942, 1943, 1948 dan 1950.
Pada tahun 1941,
Persib gagal menjadi yang terbaik, meski kompetisi digelar di Bandung.
Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan Persis dan Persebaya yang
akhirnya tampil sebagai juara dan runner-up. Dalam dua tahun berikutnya,
ketika kejuaraan dipentaskan di Surabaya dan Yogyakarta,
nama Persib tidak masuk ke posisi “2 Besar” dan Persis kembali menjadi
jawara secara berturut-turut. Persis juga tampil sebagai kampiun pada
tahun 1948 di Yogyakarta. Tahun 1950, Persib hanya mampu menjadi runner-up dalam kejuaraan yang bersamaan dengan Kongres PSSI di Semarang.
Persib gagal tampil sebagai juara setelah dikalahkan Persebaya.
Beberapa nama pemain yang membela Persib saat itu antara lain Aang
Witarsa, Amung, Anda, Ganda, Freddy Timisella, Sundawa, Toha, Leepel,
Smith, Jahja, dan Wagiman.
Pada dekade 50-an, prestasi Persib tidak begitu mencuat. Karena gagal bersaing dengan Persija di tingkat zona, pada tahun 1951, Persib gagal lolos ke putaran final. Setelah hanya mampu menempati peringkat ketiga pada tahun 1952 di Surabaya, 1954 di Jakarta dan 1957 di Padang, Persib mulai menggeliat pada tahun 1959.
Sayang, kesempatan untuk meraih gelar juara hilang ketika pada
pertandingan terakhir dikalahkan PSM Makassar 1-2 di Lapangan Ikada,
Jakarta. Dalam pertandingan itu, Persib sempat unggul lebih dulu lewat
gol cepat Omo Suratmo, sebelum PSM membalikkan keadaan melalui dua gol
Ramang dan Suwardi Arlan. Sebelum pertandingan penentuan melawan PSM
itu, Persib tampil mengesankan dengan membekap Persija 3-1 melalui
gol-gol Kiat Shek (menit 7), Parhim (17), Omo Suratmo (72), dan mencukur
Persebaya 6-0 lewat sumbangan gol Aang Witarsa, Ade Dana, Kiat Shek,
Omo (2 gol) dan Atik di Lapangan Ikada Jakarta. Selanjutkan, ketika
bertanding di Padang, Persib mempermalukan tuan rumah PSP 3-2. Namun,
pada saat memainkan partai home di Stadion Siliwangi melawan PSIS
Semarang, Persib justru menyerah 1-2. Gol Omo pada menit 40, tidak mampu
membantu Persib meraih kemenangan atas PSIS. Persib kembali membuka
persaingan dengan PSM yang belum terkalahkan setelah mencukur PSMS Medan
8-1 lewat dua gol yang masing-masing dicetak Omo dan Unang, hattrick
Parhim serta satu gol tambahan dari Kiat Shek.
Pada musim ini, materi pemain Persib antara lain Hehanusa, Iwan
(kiper), Sulaeman, Hafid, Akbar, Rukma, Nandang, Atik, Parhim, Kiat
Shek, Omo Suratmo, Sukarna, Aang Witarsa, Ade Dana, dan Unang. Penantian
panjang Persib untuk kembali menjuarai Kompetisi Perserikatan berakhir
pada tahun 1961.
Berbeda dengan musim sebelumnya, kali ini Persib memenangkan persaingan
dengan PSM. Di putaran final yang diikuti tujuh kontestan, Persib
mencatat 5 kali menang dan sekali imbang untuk mengumpulkan nilai 11,
atau satu angka lebih baik ketimbang PSM. Anggota skuad Persib yang
mengakhiri paceklik gelar Persib pada tahun 1961 itu adalah Simon Hehanusa, Hermanus, Juju (kiper), Ishak Udin,
Iljas Hadade, Rukma, Fatah Hidayat, Sunarto, Him Tjhiang, Ade Dana,
Hengki Timisela, Wowo Sunaryo, Nazar, Omo Suratmo, Suhendar, dan Piece
Timisela
Lima kemenangan yang diraih Persib pada putaran final dicatat pada
saat menghantam Persema Malang 7-1 di Makassar, PSMS Medan 5-3, PSIS
Semarang 6-2 di Bandung, Persebaya 2-1 dan Persija 3-1 di Semarang.
Satu-satunya hasil imbang yang dicatat Wowo Sunaryo dan kawan-kawan
adalah ketika bermain 0-0 dengan PSM dalam sebuah pertandingan yang
diwarnai kerusuhan di Makassar. Pertandingan melawan PSM ini terpaksa
dihentikan pada menit 85, karena penonton tuan rumah tidak bisa menerima
keputusan wasit yang memberikan hukuman penalti setelah seorang pemain
belakang mereka menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang.
Setelah itu, prestasi Persib kembali melorot dan gagal mempertahankan
gelar pada Kompetisi Perserikatan 1964 dan 1965 di Jakarta. Setahun
berikutnya, Persib harus puas menjadi runner up, karena harus kembali
mengakui keunggulan PSM Makassar di Jakarta. Begitu juga pada tahun
1967, ketika PSMS tampil sebagai juara dengan menyisihkan Persebaya
Surabaya.
Memasuki dekade 1970-an,
catatan paling kelam harus dialami Persib. Dalam kurun waktu sepuluh
tahun, praktis tidak ada prestasi membanggakan yang diraih. Pada tahun 1971,
Persib kalah bersaing dengan PSMS Medan yang akhirnya tampil sebagai
juara, Persebaya Surabaya (runner-up), Persija Jakarta (peringkat 3),
PSM Makassar (4), PSL Langkat, Persema Malang dan Persipura Jayapura
sehingga terlempar dari posisi “4 Besar”. Akibatnya, Persib tidak berhak
tampil di Turnamen “Piala Soeharto” yang hanya diikuti oleh empat tim
terbaik.
Dua tahun kemudian di Jakarta, Persib hanya mengakhiri kompetisi di
peringkat ketujuh dari delapan kontestan dengan rekor sekali menang,
sekali imbang dan 5 kali kalah. Satu-satunya kemenangan Persib dicatat
pada partai pembuka ketika menjungkalkan juara bertahan, PSMS 3-1.
Sedangkan lima kekalahan Persib dialami dari Persija 0-2 yang akhirnya
tampil sebagai juara, Persipura Jayapura 0-2, Persebaya Surabaya 0-1,
dan PSBI Blitar 0-1. Hasil imbang dicatat ketika bermain 2-2 dengan PSL
Langkat. Kegagalan Persib sedikit terobati ketika salah seorang bintang
muda Persib, Risnandar Soendoro dinobatkan sebagai pemain terbaik
Kompetisi Perserikatan 1973.
Pada Kompetisi Perserikatan 1975, Persib benar-benar kehilangan
tempat di jajaran elit sepak bola nasional. Saat itu, Persib tidak mampu
meloloskan diri ke putaran final karena hanya menempati peringkat
ketiga Pool D babak “18 Besar”. Dari 4 partai yang dimainkan di Stadion
Menteng Jakarta, Persib hanya mencatat dua kemenangan dari PSM Makassar
2-0 lewat gol Encas Tonif pada menit 74 dan Teten menit 81 serta Gasko
Kolaka 4-0 melalui hattrick Dedi Sutendi dan Akub.
Prestasi Persib kembali meningkat pada musim 1975-1978. Setelah
menjuarai babak kualifikasi Grup B di Stadion Siliwangi Bandung dan
Stadion Bima Cirebon, Persib lolos ke putaran final. Pada babak
kualifikasi ini, Persib mencatat rekor tak terkalahkan dan tak pernah
kebobolan dalam empat partai yang dimainkannya. Pada pertandingan
pertama, gol-gol yang disumbangkan Atik (menit 29), Nandar Iskandar
(41-pen.), Max Timisela (43), Teten (44) dan Herry Kiswanto (60) membawa
Persib menundukkan PSKB Binjai 5-0.
Selanjutnya, Persib membantai Persisum Sumbawa 6-0 dan membekap PSM
Makassar 3-0 lewat dua gol Tjetjep pada menit 16 dan 59 serta Zulham
Effendi, empat menit menjelang pertandingan usai. Pada pertandingan
penutup, Persib mengalahkan Perseban Banjarmasin 2-0 melalui gol yang
diciptakan Zulham Effendi dan Nandar Iskandar sekaligus memastikan diri
lolos ke babak “8 Besar”.
Namun, pada putaran final yang digelar di Jakarta, Persib harus
mengubur impiannya lolos ke semifinal. Meski sempat mencatat kemenangan
2-0 atas Persipura lewat gol Atik dan Nandar Iskandar, namun dalam dua
pertandingan terakhir, Persib dibekap Persebaya 0-2 dan tuan rumah
Persija 0-3. Catatan sekali menang dan 2 kali kalah ini menempatkan
Persib di peringkat ketiga Grup G.
Sial buat Persib, mulai tahun 1979,
PSSI mulai menerapkan pembagian divisi buat tim-tim perserikatan yang
mengharuskan sistem promosi dan degradasi diberlakukan. Ketika itu PSSI
menetapkan, Divisi Utama Perserikatan hanya dihuni 5 tim dan tiga tim
terbawah di putaran final kompetisi 1978
harus terdegradasi ke Divisi I. Karena hanya menempati peringkat ketiga
Grup G, Persib harus menghadapi peringkat ketiga Grup F, Persiraja
Banda Aceh untuk mencari tim ketiga yang terlempar ke Divisi I. Dua tim
yang otomotis terdegradasi adalah tim juru kunci Grup F PSBI Blitar dan
Grup G Persipura Jayapura. Pada partai play-off ini, Persib menyerah 1-2
dari Persiraja yang memaksanya bertarung dari “kampung ke kampung” pada
musim kompetisi berikutnya.
Pada musim pertamanya di Divisi I, Persib menjuarai Grup V yang
merupakan babak kualifikasi pertama (tingkat zona). Di babak kedua
tingkat nasional, Persib bergabung di Grup B bersama Perseden Denpasar,
Persigowa Gowa dan PSP Padang. Persib memastikan diri lolos ke babak “6
Besar” setelah mencatat sekali menang, sekali imbang dan sekali kalah di
Stadion Sriwedari Solo. Sebagai runner-up Grup B, Persib lolos bersama
Perseden.
Lolosnya Persib ke babak “6 Besar” ditentukan pada partai terakhir
ketika mengalahkan Perseden 3-0 lewat gol Risnandar melalui titik
penalti pada menit 8, Tjetjep (35) dan Ismawadi (42). Dalam dua
pertandingan sebelumnya, Persib dikalahkan PSP 0-1 dan bermain imbang
1-1 dengan Persigowa. Gol Persib ke gawang Persigowa dicetak Itang pada
menit 42.
Namun, Persib yang tergabung di Grup D babak “6 Besar:, gagal kembali
ke Divisi Utama, karena hanya mampu bermain imbang 0-0 dengan PSKB
Binjai dan dikalahkan Persipura 1-2. Dalam pertandingan ini, dua gol
Persipura dicetak Panus Korwa menit ke-2 dan Hengky Heipon menit 4.
Sedangkan gol balasan Persib dicetak Atik pada menit 75.
Pada musim berikutnya, pengurus Persib melakukan terobosan dengan
mendatangkan pelatih asal Polandia, Marek Janota. Ketika itu, Marek
diberi tugas untuk membina para pemain muda Persib secara
berkesinambungan. Kelak, pemain-pemain tersebut akan menjadi tulang
punggung Persib senior. Sementara itu, tim Persib senior yang dipimpin
Manajer H.M. Ruchiyat dan pelatih Risnandar serta dibantu dua sistennya,
Wowo Sunaryo dan Suhendar terus berusaha bangkit.
Setelah berjuang dari tingkat zona, wilayah dan nasional, dengan materi pemain di antaranya Sobur, Adeng Hudaya, Suryamin, Encas Tonif, dan Iwan Sunarya, pada tahun 1980 Persib akhirnya kembali ke Divisi Utama bersama PSIS Semarang, Persema Malang dan PSP Padang untuk melengkapi 6 tim lain di Divisi Utama yaitu Persija Jakarta, PSMS Medan, Persipura Jayapura, PSM Makassar, Persebaya Surabaya dan Persiraja Banda Aceh.
Setelah kembali ke Divisi Utama pada Kompetisi Perserikatan 1983,
Persib langsung unjuk gigi. Meski pada putaran pertama Wilayah Barat di
Stadion Imam Bonjol, Padang, hanya mencatat sekali kemenangan atas PSP
Padang 2-1 (sisanya kalah 1-2 dari PSMS serta bermain imbang 2-2 dengan
PSMS dan 0-0 dengan Persija), Persib memastikan diri lolos ke babak “4
Besar”, setelah mencetak 3 kemenangan dan sekali imbang di putaran kedua
di Stadion Siliwangi.
Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Adeng Hudaya
(30), Wolter Sulu (52), Encas Tonif (66) dan Bambang Sukowiyono (72)
mengantarkan Persib meraih kemenangan 4-0 atas Persiraja. Selanjutnya,
PSP dibabat 5-0 lewat hattrick Adjat Sudradjat pada menit 18, 38 dan 55,
serta gol tambahan dari Bambang Sukowiyono (8) dan Robby Darwis (68).
PSMS yang akhirnya tampil sebagai juara Wilayah Barat juga ditaklukan
dengan skor 3-1 melalui gol Bambang Sukowiyono (12-pen.) dan dua gol
Adjat Sudradjat pada menit 22 dan 66. Pada partai pamungkas Wilayah
Barat, Persib bermain imbang tanpa gol dengan Persija.
Di babak “4 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Persib
dan PSMS bergabung dengan dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya
dan PSM Makassar. Persib akhirnya lolos ke grandfinal setelah
mengalahkan Persebaya 2-1 lewat gol Wawan Karnawan (40) dan Wolter Sulu
(60); kembali membekap PSMS 2-1 melalui dua gol yang diborong Adjat
Sudradjat dan menghancurkan PSM Makassar 3-0 lewat gol Djafar Sidik
(10), Yana Rodiana dan Bambang Sukowiyono (74).
Sebagai tim yang mencatat hasil sempurna, Persib diunggulkan untuk
kembali merebut Piala Presiden. Namun, Persib yang tampil impresif
akhirnya gagal karena harus mengakui keunggulan PSMS 2-3 melalui drama
adu penalti, setelah bermain imbang tanpa gol dalam waktu normal. Dengan
materi pemain yang tidak jauh berbeda, Persib mencatat hasil serupa.
Pada pertandingan final ulangan, Persib kembali harus berduka karena
kembali menyerah 1-2 dalam duel adu penalti dengan PSMS. Dalam waktu
normal dan perpanjangan waktu, Persib dan PSMS bermain imbang 2-2 dalam
partai final yang disaksikan sekitar 150.000 penonton yang memadati
Stadion Utama Senayan.
Dua kegagalan pada musim 1982/1983 dan 1983/1984, tidak membuat Persib patah arang. Pada tahun 1986, Adeng Hudaya
dan kawan-kawan akhirnya bisa membumikan Piala Presiden di Bandung
setelah di final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 lewat gol tunggal
Djadjang Nurdjaman.
Para pemain yang sukses mengakhiri penantian panjang Persib selama
seperempat abad itu sebagian besar merupakan hasil binaan Marek Janota.
Ketika itu skuad Persib dihuni Sobur, Boyke Adam, Wawan Hermawan
(penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana,
Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Ajid Hermawan,
Ajat Sudradjat, Yana Rodiana, Sam Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi,
Djadjang Nurdjaman, Bambang Sukowiyono, Suhendar, Kosasih dan Djafar
Sidik. Pemain-pemain berbakat itu ditangani pelatih Nandar Iskandar.
Sayang, Piala Presiden gagal dipertahankan Persib pada musim berikutnya, 1986/1987.
Setelah lolos ke babak “6 Besar”, Persib gagal lolos ke grandfinal
karena hanya berada di peringkat ketiga klasemen akhir. Nilai yang
dikumpulkan Persib yaitu 6, hasil sekali menang dan 4 kali seri,
sebenarnya sama dengan PSIS Semarang.
Namun, karena buruknya produktivitas gol, Persib harus memberikan
tempat di grandfinal kepada PSIS yang akhirnya tampil sebagai juara
dengan mengalahkan Persebaya 1-0. Dari 5 pertandingan yang dimainkan,
Persib hanya mencetak dua gol melalui Adjat Sudradjat ketika bermain
imbang 1-1 dengan Persipura dan Adeng Hudaya saat mengalahkan PSIS 1-0.
Pada musim berikutnya, 1987/1988,
Persib mencatat hasil serupa. Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan
Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan Persija. Namun, pada
musim 1989/1990, Persib kembali unjuk gigi. Di bawah besutan pelatih Ade Dana dan dua asistennya Dede Rusli dan Indra M. Thohir,
Persib tampil sebagai kampiun setelah pada babak grandfinal di Stadion
Utama Senayan mengalahkan PSM Makassar 2-0 lewat gol bunuh diri
Subangkit dan Dede Rosadi.
Mengawali dekade 90-an, Persib mengawali Kompetisi Perserikatan
dengan kegagalan. Namun, setelah lolos dari babak reguler Wilayah Barat
ke babak “6 Besar” bersama PSMS dan PSDS Deli Serdang, Persib masih
sempat lolos ke semifinal berkat kemenangan 2-1 atas Persebaya lewat gol
Kekey Zakaria menit ke-7 dan Robby Darwis menit 30 dan menjinakkan PSDS
1-0 melalui gol tunggal Dede Rosadi pada menit 62. Namun, di semifinal,
Persib harus mengakui keunggulan PSM Makassar 1-2. Gol Robby Darwis
melalui titik penalti pada menit 65 tidak mampu menyelamatkan Persib
karena PSM mampu mencetak dua gol melalui Alimudin Usman pada menit 54
lewat titik penalti dan Kaharudin menit 79.
Kegagalan Persib makin lengkap ketika pada pertandingan perebutan
tempat ketiga pun dikalahkan Persebaya 1-2. Bagi Persib, peringkat
keempat ini menjadi prestasi terburuk sejak kebangkitan di awal dekade
80-an.
Tapi, seperti sudah menjadi garis tangan Persib, kegagalan itu
langsung dibayar pada musim 1993/1994. Persib kembali jadi kampiun
disertai catatan sejarah, karena musim 1993/1994 merupakan Kompetisi
Perserikatan terakhir, sebelum dilebur menjadi Liga Indonesia (LI) pada
musim 1994/1995. Persib berhasil membumikan Piala Presiden di Bandung
untuk selamanya, setelah di final menjungkalkan PSM Makassar 2-0. Dua
gol kemenangan Persib pada partai final yang disaksikan lebih dari
100.000 penonton itu dicetak Yudi Guntara menit ke-26 dan Sutiono Lamso
menit 71. Pada partai final itu, pelatih Indra M. Thohir yang didampingi
Asisten Pelatih Djadjang Nurdjaman dan Emen Suwarman menurunkan formasi
terbaiknya yaitu Aris Rinaldi (kiper); Robby Darwis, Roy Darwis, Yadi
Mulyadi (belakang); Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Asep Kustiana,
Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara (gelandang), Kekey Zakaria, dan Sutiono
Lamso (striker).
1990-an: Bergulirnya Liga Indonesia
Sebuah catatan sejarah dibuat PSSI pada pertengahan dekade 90-an.
Setelah bertahun-tahun terjadi dualisme kompetisi yaitu Perserikatan
(amatir) dan Galatama (semiprofesional), mulai musim 1994-1995,
PSSI memutuskan menggabungkan kedua kompetisi sepak bola di tanah air
tersebut dan membuka keran bagi pemain asing. Sebanyak 34 tim, terdiri
dari 16 eks Galatama dan 18 eks Perserikatan, tampil dalam kompetisi
bernama resmi Liga Indonesia (LI).
Ke-34 peserta dibagi ke dalam dua wilayah, Barat dan Timur. Di
Wilayah Barat bercokol Arseto Solo, Bandung Raya, BPD Jateng, Mataram
Putra, Medan Jaya, Pelita Jaya Jakarta, Persib Bandung, Persija Jakarta,
Persijatim Jakarta Timur, Persiku Kudus, Persiraja Banda Aceh, Persita
Tangerang, PS Bengkulu, PSDS Deli Serdang, PSMS Medan, Semen Padang, dan
Warna Agung. Sedangkan di Wilayah Timur, ada Arema Malang, Assyabaab
Salim Grup Surabaya (ASGS), Barito Putra, Gelora Dewata, Mitra Surabaya,
Persebaya Surabaya, Persegres Gresik, Persema Malang, Persiba
Balikpapan, Persipura Jayapura, Petrokimia Putra Gresik, PSIM
Yogyakarta, PSIR Rembang, PSIS Semarang, PSM Makassar, Pupuk Kaltim
Bontang, dan Putra Samarinda.
Ke-17 tim yang berada di masing-masing wilayah harus bertarung secara
reguler dalam 32 pertandingan home and away. Empat tim teratas berhak
lolos ke babak “8 Besar”, dan dua tim terbawah di masing-masing wilayah
degradasi ke Divisi I.
Liga Indonesia/1994-95
Kendati keran pemain asing sudah dibuka lebar-lebar oleh PSSI, namun
Persib tetap mengandalkan pemain lokal pada LI I/1994-95. Meskipun
demikian, dominasi Persib yang sudah dipancangkan sejak pertengahan
dekade 80-an, belum tergoyahkan. Dalam kompetisi gaya baru ini, Robby
Darwis dan kawan-kawan tetap menjadi yang terbaik. Di final yang
berlangsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Persib menjungkalkan
wakil Galatama, Petrokimia Putra, dengan skor tipis 1-0 lewat gol
tunggal Sutiono Lamso pada menit 76.
Sukses tim asuhan Indra M. Thohir menjuarai LI I ini tergolong sangat
mengejutkan dan di luar perkiraan banyak pemerhati sepak bola nasional.
Selain hanya mengandalkan pemain lokal, sementara tim lain kebanyakan
menggunakan jasa pemain asing, Persib pun memulai kompetisi dengan hasil
buruk. Pada partai pembuka, Persib dikalahkan Pelita Jaya 0-1 melalui
gol tunggal pemain asing asal Yugoslavia (sekarang Serbia-Montenegro),
Dejan Gluscevic.
Di babak reguler, dengan mengalami tiga kekalahan, Persib pun hanya
lolos ke babak “8 Besar” sebagai runner-up di bawah Pelita Jaya. Setelah
lolos ke Senayan, Persib membuka pertandingan Grup B, 20 Juli 1995,
dengan hasil imbang tanpa gol dengan Petrokimia Putra. Dalam
pertandingan ini, Petrokimia Putra menurunkan dua pemain asing
andalannya, Jacksen F. Tiago (Brasil) dan penjaga gawang asal Trinidad
& Tobago, Darryl Sinerine. Sementara pada pertandingan lain, ASGS
membekap Medan Jaya 2-1.
Persib baru membuka peluang lolos ke semifinal setelah pada partai kedua, 23 Juli 1995,
menundukkan Medan Jaya 2-1 dan pada pertandingan lain, Petrokimia Putra
kembali bermain imbang 2-2 dengan ASGS. Hasil ini membuat persaingan
perebutan dua tiket dari Grup B semakin panas, terutama tiga tim yang
masih punya peluang yaitu Persib, ASGS dan Petrokimia Putra.
Pada partai penentuan, 26 Juli 1995,
Persib tampil luar biasa ketika membekap pimpinan klasemen sementara,
ASGS dengan skor telak 3-0, sekaligus menempatkan diri di babak
semifinal sebagai juara Grup B. Persib akhirnya didampingi Petrokimia
Putra yang menang 3-0 atas Medan Jaya.
Di babak semifinal, 28 Juli 1995,
Persib bertemu Barito Putra yang menjadi runner-up Grup A. Dalam
pertandingan yang berlangsung sengit, Persib akhirnya berhasil
mematahkan perlawanan keras Barito Putra lewat gol tunggal Kekey Zakaria. Dengan seabreg tudingan Persib diselamatkan wasit pada babak semifinal, Robby Darwis
dan kawan-kawan melenggang ke partai puncak untuk kembali berhadapan
dengan Petrokimia Putra yang menyingkirkan Pupuk Kaltim 1-0 berkat gol
tunggal Widodo Cahyono Putro.
Pada partai puncak, 30 Juli 1995,
Persib masuk ke lapangan di bawah sorak sorai puluhan ribu bobotoh yang
memadati Stadion Utama Senayan Jakarta. Seperti partai-partai
sebelumnya, pada pertandingan final, pelatih Indra M. Thohir menurunkan
the winning team; Anwar Sanusi (kiper), Mulyana, Robby Darwis, Yadi
Mulyadi (belakang), Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Yusuf Bachtiar (tengah), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (depan).
Diwarnai kontroversi dianulirnya gol Jacksen F. Tiago, Persib
akhirnya kembali menorehkan sejarah dengan menjuarai LI jilid pertama,
setelah Sutiono Lamso menjebol gawang Petrokimia Putra pada menit 76.
Hingga pertandingan usai, Petrokimia Putra gagal membuat gol balasan,
yang membuat ribuan bobotoh berpesta pora di Stadion Utama Senayan
Jakarta. Pesta serupa juga terjadi di Bandung dan seantero Jawa Barat.
Bagi Sutiono Lamso, golnya ke gawang Petrokimia Putra itu melengkapi
koleksi golnya pada musim itu menjadi 21 gol. Sebuah rekor yang hingga
saat ini belum terpecahkan oleh striker Persib lainnya.
Berkat keberhasilannya menjadi juara LI, Persib menjadi wakil
Indonesia di kancah Piala Champions Asia. Di ajang ini, Persib sukses
mencapai babak perempatfinal Wilayah Timur, salah satunya dengan
menyingkirkan juara bertahan, Bangkok Bank (Thailand), di babak
penyisihan.
Liga Indonesia 1995-96
Pada LI II/1995-96, pengurus Persib melakukan pergantian pelatih.
Setelah mengantarkan Persib menjuarai LII/1995-96 dan perempatfinal
Piala Champions Asia, Indra M. Thohir lengser. Sebagai penggantinya,
Risnandar Soendoro melakukan langkah-langkah regenerasi dengan
menyelipkan sejumlah pemain muda seperti Yaris Riyadi, Imam Riyadi dan
Dadang Hidayat ke dalam skuad yang masih didominasi muka-muka lama.
Adapun pasukan Risnandar pada LI/II 1995-96 adalah Anwar Sanusi,
Gatot Prasetyo (kiper), Nandang Kurnaedi, Hendra Komara, Roy Darwis,
Mulyana, Robby Darwis, Nana Supriatna, Yadi Mulyadi, Dadang Hidayat
(belakang), Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Asep Sumantri,
Yaya Sunarya, Imam Riyadi, Yaris Riyadi, Mustika Hadi, Gengen (tengah),
Sutiono Lamso, Kekey Zakaria, Asep Dayat, Asep Poni, dan Dadang Rusmana
(depan).
Setelah menyelesaikan 28 pertandingan di babak reguler Wilayah Barat,
Persib menempati peringkat ketiga klasemen akhir dengan catatan 13
menang, 11 seri dan 4 kali kalah. Dari wilayah Barat, Persib lolos ke
babak “12 Besar” bersama Mastrans Bandung Raya, Pelita Jaya Jakarta,
Persita Tangerang, Persikab Kab. Bandung dan Mataram Indocement.
Sedangkan 6 tim yang lolos dari Wilayah Timur adalah PSM Makassar, Mitra
Surabaya, Pupuk Kaltim Bontang, Gelora Dewata, Persipura Jayapura dan
Putra Samarinda.
Di babak “12 Besar” yang dibagi ke dalam tiga grup, Persib bergabung
di Grup C bersama tuan rumah PSM, Persipura dan Mataram Indocement. Pada
pertandingan pembuka di Stadion Mattoangin, Makassar, 24 September
1996, Persib langsung ditekuk Persipura 1-2. Sementara pada pertandingan
lain, PSM membekap Mataram Indocement 1-0.
Dua hari kemudian, 26 September 1996,
Persib bangkit sekaligus membuka peluang untuk lolos ke babak semifinal
sebagai runner-up terbaik, setelah memukul Mataram Indocement 2-0.
Tiket semifinal di grup ini akhirnya menjadi milik PSM setelah pada hari
yang sama mencatat kemenangan 1-0 atas Persipura.
Sayang, Persib akhirnya harus gagal mempertahankan gelar juara yang
direbut tahun sebelumnya, karena pada partai penentuan, 28 September
1996, Robby Darwis dan kawan-kawan harus mengakui keunggulan PSM 0-1.
PSM akhirnya didampingi Persipura ke babak semifinal setelah menjadi
runner-up terbaik usai membantai Mataram Indocement 4-0.
Liga Indonesia 1996-97
Pergantian pelatih Persib kembali terjadi di awal perhelatan Liga
Indonesia (LI) III/1996-97. Pengurus Persib kali ini menunjuk Nandar
Iskandar sebagai arsitek “Maung Bandung”. Ketika itu, pengurus Persib
juga memutuskan mengontrak Nandar untuk dua musim sekaligus.
Berbeda dengan dua musim sebelumnya, LI III dibagi ke dalam tiga
wilayah, Barat, Tengah dan Timur, masing-masing diikuti 11 klub.
Bermaterikan pemain yang tidak jauh berbeda dengan musim sebelumnya,
Nandar sukses membawa Persib menjuarai Wilayah Tengah dengan catatan 8
kali menang, 10 imbang dan 2 kali kalah. Sebagai juara Wilayah Tengah,
Persib lolos ke babak “12 Besar” bersama Pelita Jaya Mastrans, Mitra
Surabaya dan Barito Putra. Dari wilayah lain, tim-tim yang lolos ke
babak “12 Besar” adalah Persebaya Surabaya, Bandung Raya, Arema Malang,
Persiraja Banda Aceh (Barat), PSM Makassar, Gelora Dewata, Persma Manado
dan Persipura Jayapura (Timur).
Sebagai juara Wilayah Tengah, Persib mendapat jatah tuan rumah di
babak “12 Besar”. Robby Darwis dan kawan-kawan menjadi tuan rumah Grup B
menjamu tiga kontestan lainnya, Bandung Raya, Persma Manado dan Barito
Putra.
Sayang, Persib gagal memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah.
Setelah menang 1-0 dari Barito Putra pada partai pembuka, 13 Juli 1997,
Persib hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan Bandung Raya, 15 Juli
1997, dan Persma, 17 Juli 1997. Akibatnya, Persib harus merelakan
tempatnya di semifinal kepada rival sekotanya, Bandung Raya yang
membekap Persma 3-0 dan Barito Putra 2-0. Dengan nilai 5, hasil sekali
menang dan 2 seri, Persib harus puas menjadi runner-up Grup B di bawah
Bandung Raya yang mengumpulkan nilai 7.
Bandung Raya yang merupakan juara bertahan akhirnya terus melaju
hingga partai puncak sebelum ditundukkan Persebaya Surabaya 1-3 di
Stadion Utama Senayan, Jakarta, 28 Juli 1997.
Liga Indonesia 1997-98
Kendati masih “mengharamkan” pemain asing, pada Liga Indonesia (LI)
IV/1997-98, Persib mulai membuka keran bagi pemain yang bukan binaan
sendiri. Ketika itu, pelatih Nandar Iskandar memboyong beberapa pemain
dari luar Jawa Barat untuk memperkuat skuad yang ada. Maka, bergabunglah
dua pemain PSMS Medan, M. Halim (kiper) dan Khair Rifo, striker Bandung
Raya, Peri Sandria dan Surya Lesmana, gelandang asal Persijatim Jakarta
Timur, Iskandar dan mantan striker Petrokimia Putra dan Barito Putra,
Gatot Indra.
Namun, kedatangan para pemain dari luar Jawa Barat itu justru
menimbulkan persoalan yang mengganggu keharmonisan tim. Akibat perlakuan
yang berbeda antara pemain pendatang dan pemain binaan Persib, gap di
antara para pemain pun terjadi. Pemain lokal binaan Persib mulai cemburu
dengan perbedaan perlakuan pengurus.
Akibatnya, perjalanan Persib di LI IV pun mulai gontai. Tergabung di
Wilayah Tengah, Persib mengalami lima kekalahan dalam 15 partai awal
yang dimainkannya. Catatan terburuk dalam empat musim terakhir. Ini
membuat posisi Nandar terancam. Bahkan, ratusan bobotoh sempat
menghadiahkan karangan bunga kematian buat Nandar.
Namun, Nandar selamat dari kecaman yang lebih hebat. Pasalnya, PSSI
akhirnya memutuskan untuk menghentikan kompetisi pada tanggal 25 Mei
1998, akibat kerusuhan sosial yang melanda Indonesia. Ketika itu, Persib
baru memainkan 15 partai dengan catatan 6 kali menang, 4 seri dan 5
kali kalah dan tertahan di peringkat kelima klasemen sementara.
Liga Indonesia 1998-99
Memasuki LI V/1998-99, persiapan Persib diwarnai konflik internal
yang berkepanjangan. Lantaran ketidakjelasan manajemen tim, sejumlah
pilar Persib, khususnya yang bukan pemain binaan seperti M. Halim,
Iskandar, Surya Lesmana, Giman Nurjaman, Khair Rifo dan Gatot Indra
memilih hengkang.
Tidak hanya itu, para pemain binaan sendiri yang selama ini menjadi
ikon Persib turut kabur. Para pemain yang terpaksa pergi dengan hati
terluka, akibat perselisihan dengan manajemen tim itu adalah Robby
Darwis, Yadi Mulyadi, Gatot Prasetyo, Asep Dayat dan Hendra Komara.
Akibat kehilangan banyak pilar, Persib yang ketika itu ditangani
pelatih debutan M. Suryamin dan Manajer H.M. Sanusi tampil di LI V
dengan kekuatan compang-camping. Plus kondisi internal tim yang sudah
tidak kondusif, serta munculnya faktor klenik dalam mempersiapkan tim,
Persib mengalami keterpurukan dan harus kehilangan tempat di jajaran
elit sepak bola nasional.
Bahkan, setelah memainkan 6 dari 8 pertandingan yang harus dijalani,
Persib yang tergabung di Wilayah Barat Grup B nyaris terlempar ke Divisi
I. Dalam enam pertandingan itu, Nana Priatna dan kawan-kawan hanya
mencatat hasil 2 kali menang, sekali seri dan 3 kali kalah. Beruntung,
Persib masih bisa menghindari degradasi setelah mencatat kemenangan 3-1
atas Persita Tangerang di Stadion Benteng, Tangerang, 7 Februari 1999.
Meski pada partai terakhir kembali kalah 1-3 dari Persija di Stadion
Siliwangi, Persib tetap selamat dan tiket degradasi menjadi milik
Persita.
Liga Indonesia 1999-00
Meski nyaris terdegradasi, pelatih M. Suryamin masih dipertahankan
Persib pada LI VI/1999-00. Namun, karena besarnya pengaruh faktor klenik
dalam perjalanan tim serta buruknya prestasi Nandang Kurnaedi dan
kawan-kawan dalam lima pertandingan awal, Suryamin akhirnya harus
lengser. Akibat tekanan publik, pers, dan pengurus, Suryamin akhirnya
menyatakan mengundurkan diri. Suryamin mundur setelah Persib dikalahkan
Persita dan Persikab 0-1, dua kali imbang lawan Indocement Cirebon dan
Medan Jaya serta dibekap Semen Padang 0-3.
Pada saat konferensi pers pengunduran dirinya di Sekretariat Persib,
Jalan Gurame Bandung, Suryamin menyatakan ia terpaksa menanggalkan
jabatannya sebagai pelatih Persib karena merasa didzalimi semua orang,
termasuk pers yang dinilai selalu memojokkannya. “Celakalah bagi
orang-orang yang telah berbuat dzalim,” hardik Suryamin yang ketika itu
terlihat sangat emosional.
Menyusul pengunduran diri Suryamin di tengah jalan, pengurus Persib
akhirnya menunjuk Indra M. Thohir sebagai penggantinya. Inilah kejadian
pertama kali pengurus Persib melakukan pergantian pelatih di tengah
jalan sepanjang sejarah perjalanan LI.
Ditangani pelatih yang membawa Persib menjuarai LI I/1994-95,
prestasi Persib secara perlahan mulai menanjak. Kendati demikian, hampir
sepanjang kompetisi, bayang-bayang degradasi masih tetap menghantui
Persib. Mulyana dan kawan-kawan baru bisa keluar dari ancaman degradasi
dalam empat pertandingan terakhir.
Kemenangan dalam menahan PSP Padang 0-0 di Padang (18/5/00), Persib
mencatat tiga pertandingan kandang secara beruntun yaitu dengan membekap
Persijatim 2-0, (28/5/00), PSBL 3-0 (1/6/00) dan Indocement Cirebon 1-0
(8/6/00), sekaligus mengamankan tempat di Divisi Utama musim
berikutnya. Di akhir kompetisi reguler Wilayah Barat, Persib berada di
posisi 8 dengan nilai 32, hasil 8 kali menang, 8 seri dan 10 kali kalah.
Liga Indonesia 2001
Berhasil menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi, Indra M. Thohir
kembali dipercaya menangani “Maung Bandung” pada LI VII/2001. Untuk
memperkuat skuadnya, Indra Thohir merekrut beberapa pemain anyar seperti
Abdus Shobur, Luis Simoes, Nana Setia dan mantan pemain Pelita Jakarta.
Yang sedikit menghebohkan, Indra Thohir juga memanggil kembali
gelandang mungil, Yusuf Bachtiar yang sudah lama absen membela Persib.
Meski sempat mengundang pertanyaan di kalangan bobotoh, namun Thohir
tetap pada keputusannya. Hasilnya, Persib kembali masuk ke jajaran elit
sepak bola nasional setelah memastikan diri lolos ke babak “8 Besar”.
Yaris Riyadi dan kawan-kawan lolos ke babak “8 Besar” setelah menempati
peringkat ketiga klasemen akhir Wilayah Barat dengan catatan 15 kali
menang, 2 seri dan 9 kali kalah.
Di babak “8 Besar” Persib bergabung di Grup A bersama tuan rumah PSMS
Medan, Persebaya Surabaya dan Barito Putra. Bertanding di Stadion
Teladan Medan, Persib sempat membuka harapan untuk lolos ke semifinal,
ketika pada pertandingan pembuka, (26/9/01), membekap Barito Putra 2-1
lewat gol Mulyana dan Yaris Riyadi.
Namun, pada partai kedua, (28/9/01), Persib harus mengakui keunggulan
tuan rumah PSMS Medan 0-1. Kekalahan itu membuat Persib harus menjalani
partai hidup-mati melawan Persebaya yang juga mencatat hasil sekali
menang 1-0 atas Barito Putra dan kalah 1-2 dari PSMS. Dalam pertandingan
penentuan itu, baik Persib maupun Persebaya wajib meraih kemenangan
untuk mendampingi PSMS lolos ke semifinal.
Tapi, dalam pertarungan yang berlangsung sengit, (30/9/01), Persib
dan Persebaya bermain imbang 0-0 dalam waktu 2 x 45 menit. Karena
sama-sama mengumpulkan nilai 4 dengan selisih gol yang sama 2-2,
pertandingan terpaksa harus diselesaikan melalui perpanjangan waktu.
Petaka buat Persib akhirnya datang pada menit 115, ketika Reinold
Pieters menjebol gawang Persib yang dikawal Anwar Sanusi. Gol Reinald
itu tak bisa disamakan hingga pertandingan usai dan Persib harus
merelakan tempatnya di babak semifinal kepada Persebaya.
“Gol itu terasa sangat menyakitkan. Sebab, gol itu membuat kita gagal
berangkat ke Senayan,” kenang penjaga gawang Persib, Anwar Sanusi.
Liga Indonesia 2002
Pada LI VIII/2002, gerakan regenerasi dilakukan pengurus terhadap
jajaran pelatih. Indra M. Thohir yang mengantarkan Persib lolos ke babak
“8 Besar” LI VII/2001 tidak dipertahankan. Sebagai gantinya, pengurus
Persib menunjuk trio pelatih muda, Denny Syamsudin, Dedi Sutendi dan
Lukas Tumbuan.
Berdasarkan prestasi Persib pada musim sebelumnya, untuk LI
VIII/2002, pengurus Persib membebankan target kepada Denny Syamsudin
yang bertindak sebagai pelatih kepala untuk lolos ke babak “8 Besar”.
Untuk menopang target tersebut, Persib pun mendatangkan sejumlah pemain
bintang seperti Ansyari Lubis, Budiman, Widiantoro, Heri Rafni Kotari
dan Hari Saputra. Ketiga pemain tersebut melengkapi muka-muka lama macam
Yaris Riyadi, Sujana, Ruhiat, Dadang Hidayat, Asep Dayat dan Suwita
Pata.
Dengan materi pemain yang dimilikinya, Denny sebenarnya bisa
melanjutkan tradisi yang dibuat Indra M. Thohir sebelumnya, yaitu tak
pernah kalah di kandang sendiri. Dari 11 partai kandang yang
dimainkannya, Persib mencatat rekor 8 kali menang dan 3 seri. Sayang,
hasil mengesankan pada partai home itu berbanding terbalik dengan
hasil-hasil di luar kandang. Kekalahan demi kekalahan yang dialami
Persib pada pertandingan away membuat Persib terpuruk dan bahkan hantu
degradasi mulai membayangi sejak pertengahan musim.
Persib baru bisa menghindarkan diri dari ancaman degradasi pada
tanggal 5 Mei 2002, setelah mencatat kemenangan dengan “skor aneh” 5-0
atas tetangganya, Persikab Kab. Bandung di Stadion Siliwangi. Lima gol
Persib yang disumbangkan Ansyari Lubis, Sujana (2 gol), Ruhiat dan Yaris
Riyadi dengan mudah menjebol gawang Persikab yang dikawal kiper Jajang
Sinar Surya.
Tuduhan adanya “main mata” pun mencuat. Pasalnya, ketika itu Persikab
sudah dipastikan degradasi ke Divisi I menyusul hasil buruk sepanjang
kompetisi. “Ketika itu, memang ada pembicaraan tingkat tinggi di antara
para pengurus Persib dan Persikab untuk menyelamatkan Persib dari
ancaman degradasi,” kata salah seorang pemain Persikab yang meminta
namanya dirahasiakan. Meski sudah ada pengakuan dari kubu Persikab,
namun tudingan tersebut tentu saja dibantah kubu Persib.
Setelah lepas dari ancaman degradasi, pada partai pamungkas, Persib
akhirnya bisa menghindari rekor buruk tak pernah menang di kandang
lawan. Pada tanggal 12 Mei 2002,
dua gol Sujana dan Heri Rafni Kotari ke gawang PSBL Bandar Lampung di
Stadion Pahoman, mengantarkan Persib untuk pertama kalinya mencatat
kemenangan tandang. Persib mengakhiri LI VIII/2002 di peringkat ke-8
dari 12 kontestan Wilayah Barat dengan rekor sekali menang, 2 seri dan 8
kali kalah pada partai tandang.
Liga Indonesia 2003
Revolusi besar-besaran yang cenderung spekulatif dilakukan pengurus
Persib pada LI IX/2003. Setelah delapan musim selalu mengandalkan
pelatih dan pemain lokal, pengurus Persib melakukan langkah bersejarah
dengan merekrut pelatih dan pemain asing. Terinspirasi kesuksesan
pelatih asal Polandia, Marek Janota, yang melahirkan banyak bintang
Persib di awal dekade 80-an, pada LI IX/2003, pengurus menunjuk Marek
Andrejz Sledzianowski untuk menangani “””Maung Bandung”””.
Sejarah lain yang dibuat Persib pada LI IX/2003 adalah dibukanya
keran bagi pemain asing. Marek yang pada awalnya diproyeksikan untuk
menangani pemain Persib U-23 yang akan tampil di Pekan Olahraga Daerah
(Porda) IX/2003 di Indramayu, memboyong pemain asing yang juga berasal
dari Polandia. Kwartet Polandia, Mariusz Mucharski, Pawel Bocian, Piotr
Orlinski dan Maciej Dolega menjadi pemain asing pertama yang berkostum
Persib.
Tak ayal, kehadiran pelatih dan pemain asing di Persib telah
memunculkan euforia kesuksesan di kalangan bobotoh. Seperti pada awal
dekade 80-an, bobotoh berharap, era keemasan Persib bakal kembali.
Mereka berharap, Marek Andrejz bisa kembali melahirkan banyak bintang
baru seperti ketika Marek Janota memunculkan nama-nama seperti Robby
Darwis, Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, Iwan Sunarya, Djafar Sidik,
Bambang Sukowiyono dan pemain lain yang membuat Persib berkibar pada
tahun 1986.
Tapi, harapan tinggal harapan. Keberanian Marek memasukan nama-nama
pemain muda yang masih hijau seperti Yosef Nandang, Rahman F., Jaenal
Abidin, Jaja Hidayat dan Eka Santika ternyata tak membuahkan hasil.
Keputusan mendepak Yaris Riyadi, Suwita Pata, Cecep Supriatna, Sujana
dan sejumlah pemain lain yang merupakan ikon Persib malah membawa Persib
pada kehancuran. Pada masa “kepemimpinan” Marek, Persib mencatat
sejarah paling kelam sepanjang sejarah; melewati 12 pertandingan
beruntun tanpa kemenangan sekalipun!
Hasil buruk itu membuat kepanikan melanda Persib. Bobotoh yang kecewa
dengan prestasi Dadang Hidayat dan kawan-kawan langsung berteriak;
“Ganti Marek!”. Meski terkesan ragu, atas desakan bobotoh, setelah
sempat melarang mendampingi tim dalam empat partai away melawan PSS
Sleman, Persijatim Solo FC, Arema Malang dan Perseden Denpasar, pengurus
dan manajemen tim akhirnya memecat Marek. Sebagai gantinya, untuk
sementara pengurus mempercayakan kepada dua asisten Marek, Bambang
Sukowiyono dan Iwan Sunarya.
Ketika duet Suko-Iwan menangani tim, pengurus dan manajemen tim sudah
mendapatkan pengganti Marek. Dia adalah pelatih asal Cili, Juan Antonio
Paez. Kendati sudah bergabung dengan tim, Paez belum terjun langsung.
Ia hanya mendampingi tim sebagai Direktur Teknik yang bertugas
memberikan masukan kepada duet pelatih Suko-Iwan. Baru setelah pengurus
dan manajemen tim akhirnya mencopot Suko dan Iwan menjelang akhir
putaran pertama, Paez mulai menangani tim secara langsung.
Setelah Suko dan Iwan dicopot, Paez praktis bekerja sendirian
menangani tim. Dalam setengah putaran, Paez mengemban misi sulit;
mengangkat Persib dari posisi paling buncit, sekaligus menyelamatkan
diri dari ancaman degradasi. Setelah menunjuk Yaya Sunarya dan Kun
Syanto sebagai asisten pelatih, Paez dan manajemen tim langsung
mengambil langkah cepat dengan melakukan perombakan tim. Pemain-pemain
yang dinilai tidak berguna dicoret dan digantikan dengan pemain anyar.
Kendati sempat menyisakan masalah menyangkut pembayaran sisa kontrak,
manajemen tim akhirnya mencoret tiga pemain Polandia yang masih
tersisa, Mariusz Mucharski, Piotr Orlinski dan Maciej Dolega di
penghujung putaran pertama. Pemain lokal yang turut terdepak adalah
Yosep Nandang, Jaja Hidayat, dan Rahman F. Sebagai gantinya, manajemen
Persib mengimpor pemain asing baru asal Cili, Alejandro Tobar, Rodrigo
Lemunao (kemudian dicoret lagi), Rodrigo Alejandro Sanhueza dan Claudio
Lizama. Untuk pemain lokal, Paez merekrut pemain yang sudah jadi macam
Marwal Iskandar, Suwandi H.S., Mulyono Geroda, dan penjaga gawang Agus
Setiawan.
Dengan kekuatan baru, yang jauh berbeda dengan putaran pertama,
Persib mulai bangkit. Setelah sempat tertatih-tatih di awal putaran
kedua, Persib benar-benar bangkit memasuki bulan Juli. Setelah bermain
imbang dengan PSS Sleman 1-1, Dadang Hidayat dan kawan-kawan membekap
Persijatim Solo FC. Berikutnya, Persib membuat catatan tak terkalahkan
dalam delapan partai selanjutnya, termasuk sukses menahan juara bertahan
Petrokimia Putra dan mengalahkan Barito Putra di kandangnya.
Namun, akibat kekalahan 0-4 dari Persik Kediri dan 0-1 dari PSIS
Semarang dalam dua partai terakhir, Persib gagal keluar dari zona
degradasi. Persib mengakhiri kompetisi di peringkat ke-16 dari 20 tim
yang mengikuti kompetisi satu wilayah. Kalau mengacu kepada aturan awal
PSSI yang menyebutkan enam tim terbawah langsung terdegradasi, mestinya
riwayat Persib di Divisi Utama sudah berakhir.
Beruntung buat Persib, pada pertengahan musim, PSSI sudah mengubah
aturan tim yang terdegradasi dari 6 menjadi 4 tim. Dua tim yang
menempati peringkat 15 dan 16 masih diberi kesempatan melalui babak
play-off dengan peringkat dua tim Divisi II di Stadion Manahan Solo,
untuk memperebutkan dua tiket di Divisi Utama. Ada kabar, diadakannya
babak play-off ini merupakan salah satu upaya PSSI untuk menyelamatkan
Persib dari ancaman degradasi. Isu tersebut tentu saja dibantah oleh
Trie Goestoro, Sekjen PSSI ketika itu.
Setelah memainkan tiga partai play-off, Persib akhirnya selamat dari
aib besar terlempar ke Divisi I seperti yang pernah terjadi pada tahun
1978. Persib lolos dari degradasi setelah mencatat kemenangan 1-0 atas
Persela Lamongan dan PSIM Yogyakarta serta bermain imbang 4-4 dengan
Perseden Denpasar.
Liga Indonesia 2004
Sukses menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi di babak play-off,
Juan Antonio Paez dianggap sebagai pahlawan oleh bobotoh. Meski
sebagian pengurus tidak setuju dengan sebutan pahlawan, karena menilai
lolosnya Persib dari degradasi berkat lobi mereka ke PSSI, namun Paez
tetap dipercaya menangani Persib pada LI X/2004. Sebagian besar pemain
yang dianggap berjasa menyelamatkan Persib pada LI IX/2003 pun tetap
dipertahankan, termasuk Alejandro Tobar dan Claudio Lizama.
Untuk melengkapi lima kuota pemain asing, Paez mendatangkan striker
haus gol asal PSIS Semarang, Julio Lopez, serta Angelo Andres Espinoza
dan Adrian Colombo. Dari jajaran pemain lokal, manajemen Persib juga
merekrut dua mantan pemain nasional, Alexander Pulalo dan Imran
Nahumaruri. Selain itu, Persib pun memulangkan sejumlah ikon Persib yang
sempat hengkang pada LI IX/2003 seperti Suwita Pata (PSS Sleman), Yaris
Riyadi (Pelita KS) dan Cecep Supriatna (Persijatim Solo FC). Pemain
binaan Persib lainnya yang berhasil dipulangkan adalah Usep Munandar,
Deden Hermawan (Barito Putra), Erik Setiawan (Persebaya Surabaya) dan
Andi Supendi (Persija Jakarta).
Berbeda dengan musim sebelumnya, kali ini materi pemain Persib
dinilai sangat menjanjikan. Dengan format kompetisi satu wilayah,
prestasi Persib mulai menanjak. Hantu degradasi yang selalu membayangi
Persib dalam dua musim terakhir tidak lagi muncul. Meski tidak terlalu
fantastis, Persib mulai bisa bersaing di papan atas lagi.
Namun, di tengah perjalanan, badai besar mulai menerpa kapal bernama
Persib. Disertai berbagai intrik, sejumlah masalah mulai mencuat ke
permukaan. Insiden mundurnya pelatih kiper, Boyke Adam dari tim menjadi
awal munculnya gesekan antara Paez, pengurus dan manajemen tim Persib.
Paez merasa, pencoretan Boyke merupakan intrik tingkat tinggi dalam
upaya menjatuhkan dirinya.
Gesekan Paez dengan pengurus dan manajemen tim semakin meruncing,
ketika Manajer H.M. Sanusi menyatakan mengundurkan diri menjelang
putaran pertama berakhir. Alasan H. Uci, sapaan akrabnya, adalah
kesibukannya. Tapi, sejumlah pemain dan ofisial tim Persib ketika itu
mengakui kalau Paez dan H. Uci sempat terlibat “perang mulut” di Wisma
Puri Asri, mes Persib pada malam sebelum pengunduran dirinya.
“Pada malam harinya (sebelum mundur), Paez dan H. Uci sempat dor dar
di sini (Wisma Puri Asri). Ketika itu terdengar ada ancaman dari Paez,
dia (Paez) yang mundur atau H. Uci,” kata salah seorang pilar Persib di
LI X/2004.
Perseteruan terselubung di dalam tim membuat suasana tidak kondusif.
Langkah Persib pun mulai limbung dihantam berbagai persoalan yang
seharusnya tidak terjadi ketika prestasi tim sedang menanjak. Menjelang
akhir putaran pertama, persoalan semakin meruncing ketika di luar dugaan
Persib memulangkan Julio Lopez dan Adrian Colombo. Padahal, kinerja
duet striker Persib itu pada putaran pertama sangat baik. Colombo dan
Lopez merupakan pencetak gol tersubur dengan masing-masing 9 dan 7 gol.
Ketika itu, Paez beralasan, pencoretan Colombo karena cedera yang
dialaminya, sedangkan Lopez karena persoalan pribadinya.
Selain Colombo dan Lopez, Paez mendepak juga tiga pemain lainnya
yaitu Andi Supendi, Dadang Sudradjat dan Angelo Andres Espinoza. Sebagai
gantinya, Persib mendatangkan duet striker baru, Osvaldo Moreno
(Paraguay) dan Cristian Molina (Cili). Mantan pemain Bandung Raya dan
tim nasional, Nuralim, juga turut direkrut untuk memperkuat lini
pertahanan.
Setelah itu, Paez sendiri sempat menyatakan mundur dari tim usai
Persib mengalahkan Persipura Jayapura 1-0 di Stadion Siliwangi (8/8/04),
karena merasa dirinya sudah tidak mendapat dukungan lagi dari pengurus.
“Semuanya menyerang saya. Lebih baik saya mundur dari tim, demi
kebaikan Persib,” kata Paez.
Namun, setelah diadakan pembicaraan tingkat tinggi di Hotel Grand
Hyatt, pengurus meminta Paez untuk melanjutkan tugasnya, setidaknya
hingga akhir musim. Paez memang melunak, tetapi karena kondisi tim sudah
tidak kondusif, akibat terus diterpa berbagai persoalan dan intrik
hampir di sepanjang musim, langkah Persib mulai gontai di putaran kedua.
Beruntung, dalam situasi seperti itu, Persib mampu bertahan untuk
mengakhiri kompetisi di peringkat keenam dengan nilai 49, hasi; 12 kali
menang, 13 seri dan 9 kalah.
Sebenarnya, prestasi yang diraih Persib kali ini jauh lebih baik
ketimbang musim sebelumnya. Sayang, prestasi lumayan itu tercoreng oleh
rekor tak pernah menang dalam partai away. Sesuatu yang baru pertama
kali terjadi sepanjang sejarah LI. Dari 17 partai tandang dimainkan,
Persib hanya bisa meraih nilai 8, hasil dari 8 kali seri dan 9 kali
kalah.
Liga Indonesia 2005
Kendati masih ingin menangani Persib pada LI XI/2005, Juan Antonio
Paez akhirnya terdepak. Sebagai gantinya, pengurus kembali menunjuk
pelatih lokal. Meski demikian, pelatih yang ditunjuk itu tetap muka
lama. Dia adalah Indra M. Thohir, pelatih yang dianggap bertangan dingin
karena sukses membawa Persib menjuarai LI I/1994-95 dan lolos ke babak
“8 Besar” LI VII/1999-00.
Penunjukan Indra Thohir sebagai pelatih tidak terlepas dari harapan
ia bisa kembali mengangkat prestasi Persib ke puncak tertinggi. Seperti
halnya pengurus yang sudah rindu gelar juara, bobotoh pun punya harapan
serupa. Mereka berharap, di bawah penanganan Thohir, setidaknya Persib
bisa kembali lolos ke babak “8 Besar” yang menjadi simbol jajaran elit
persepak bolaan nasional.
Di bawah penanganan Thohir dan Manajer Ir. Chandra Solehan, Persib
nyaris tanpa gejolak. Kecuali isu munculnya gerakan “Asal Bukan Cili”
yang membuat Paez dan dua pemain asal Cili, Alejandro Tobar, Claudio
Lizama dan Cristian Molina terdepak, perubahan nama-nama pemain dalam
skuad Persib tidak terlalu banyak diperdebatkan publik. Begitu juga
ketika Alexander Pulalo, Imran Nahumaruri, Nuralim dan Suwandi H.S.
memilih hengkang ke klub lain.
Dalam menyusun skuadnya, seperti di LI I dan LI VII, Thohir lebih
percaya pada kekuatan lokal. Karena itu, muka-muka lama seperti Yaris
Riyadi, Suwita Pata, Dadang Hidayat, Cecep Supriatna, Erik Setiawan,
Usep Munandar, Deden Hermawan, Asep Dayat, Imral Usman dan Gilang Angga
Kusuma dipertahankannya. Di luar itu, Thohir juga memulangkan Boy Jati
Asmara (Persipura Jayapura), Eka Ramdani (Persijatim Solo FC), Aceng
Juanda (PSS Sleman), Edi Hafid Murtado (Persitara Jakarta Utara) dan
Cucu Hidayat (Persikad Depok) ke Bandung.
Untuk memperkuat materi pemain lokal yang dimilikinya, Thohir dan
manajemen tim tetap mengoptimalkan kuota lima pemain asing dari PSSI.
Setelah sempat membidik dua pemain tim nasional Singapura asal Nigeria,
Itimi Dickson dan Agu Casmir, Persib akhirnya mendapatkan Antonio “Toyo”
Claudio, Uilian Souza Da Silva (Brasil), Pradith Taweetchai (Thailand),
Ekene Michael Ikenwa (Nigeria), dan Chioma Kingsley (Burkina Faso) yang
masuk belakangan.
Dibantu duet asisten pelatih Bambang Sukowiyono dan Encas Tonif,
Thohir mulai menyulap pasukannya menjadi tim yang disegani. Dengan
filosofi simple football-nya, Thohir berhasil mempertahankan rekor tak
terkalahkan dalam partai kandang yang dibuat Juan Antonio Paez pada
musim sebelumnya. Hingga menjelang akhir kompetisi, Persib pun terus
bersaing di papan atas Wilayah Barat dan bahkan nyaris lolos ke babak “8
Besar”.
Tapi, harapan bobotoh untuk melihat kembali Persib bertarung di babak
“8 Besar” akhirnya harus sirna, ketika Persib harus kehilangan angka
pada saat bermain imbang 1-1 dengan PSMS Medan di Stadion Siliwangi.
Kegagalan Persib masuk ke jajaran elit nasional benar-benar musnah,
ketika dalam dua pertandingan terakhir di kandang lawan dibekap Arema
Malang 0-1 dan dinyatakan kalah walk over (WO) dari Persija Jakarta,
karena Dadang Hidayat dan kawan-kawan tidak bisa hadir di Stadion Lebak
Bulus gara-gara teror berlebihan The Jakmania. Akhirnya, Persib harus
puas berada di peringkat kelima klasemen akhir Wilayah Barat dengan
catatan 10 kali menang, 8 seri dan 8 kekalahan. Persib kalah bersaing
dengan Persija Jakarta, Arema Malang, PSIS Semarang dan PSMS Medan yang
akhirnya mewakili Wilayah Barat ke babak “8 Besar”.
Liga Indonesia 2006
Pada LI XII/2006, Risnandar Soendoro kembali naik tahta. Persis
seperti sepuluh tahun sebelumnya, kali ini pun Risnandar menerima
tongkat estafet kepelatihan Persib dari Indra M. Thohir. Sayang,
prestasi Risnandar yang sempat membawa Persib lolos ke babak “12 Besar”,
gagal terulang. Malahan, Risnandar harus mengalami nasib tragis, karena
harus menanggalkan jabatannya sebagai pelatih, ketika baru memimpin
Persib dalam dua pertandingan awal. Risnandar menorehkan rekor sebagai
pelatih tersingkat yang menangani Persib, memecahkan catatan Suryamin di
LI VI/1999-00.
Risnandar terpaksa harus mengundurkan diri karena desakan ribuan
bobotoh yang melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di Stadion
Siliwangi, sesaat setelah Charis Yulianto dan kawan-kawan mengalami
kekalahan kedua dari Persijap Jepara 0-1. Pada pertandingan pembuka LI
XII di Stadion Siliwangi, Persib juga dibekap PSIS Semarang dengan skor
1-2.
Kendati sebelumnya sempat mengungkapkan bakal mundur jika Persib
mengalami tiga kekalahan beruntun, namun Risnandar mengambil keputusan
lebih cepat. “Demi kebaikan Persib, saya tidak harus menunggu hingga
pertandingan ketiga,” kata pelatih yang juga mengalami hal yang sama
ketika menangani Persikab Kab. Bandung di LI VI/1999-00.
Sebagai bentuk rasa tanggung jawab, keputusan mundur Risnandar juga
diikuti asistennya, Encas Tonif. Untuk mengisi kekosongan pelatih saat
menjalani pertandingan away di Medan dan Deli Serdang, untuk sementara
pengurus Persib menunjuk pelatih Persib U-23, Djadjang Nurdjaman untuk
mendampingi Dedi Sutendi, asisten pelatih Risnandar yang masih tetap
berada di tim.
Setelah mengalami kekalahan 2-1 dari PSMS Medan dan 4-1 dari PSDS
Deli Serdang, pengurus Persib akhirnya merekrut mantan pelatih Persija
Jakarta, Arcan Iurie Anatolievici untuk melanjutkan tugas Risnandar.
Sedangkan Djadjang dan Dedi dipercaya menjadi asistennya. Pengurus dan
manajemen tim Persib berharap, pelatih asal Moldova yang sukses membawa
Persija menjadi runner-up LI XI/2005.
Untuk memperkuat skuadnya, Iurie merekrut dua tambahan pemain asing
yaitu penjaga gawang Kosin Hattahairathanakool (Thailand) dan striker
Reduoane Barkaoui (Maroko). Dua legiun asing tersebut melengkapi tiga
pemain asing yang dimiliki Persib sebelumnya yaitu Antonio Claudio
(Brasil), Nipont Chanrawut dan Pradith Taweetchai (Thailand).
Di bawah penanganan Iurie, Persib yang memiliki materi pemain cukup
bagus, langsung menggeliat. Pada pertandingan perdananya, Iurie sukses
memberikan kemenangan, ketika membekap PSIM Yogyakarta 2-0 di Stadion
Mandala Krida, Yogyakarta, lewat dua gol Zaenal Arief dan Gendut Doni
Christiawan.
Euforia kebangkitan Persib terasa semakin kencang pada saat Persib
memainkan dua partai kandang berikutnya. Meski dengan susah payah, Salim
Alaydrus dan kawan-kawan membekap Arema Malang 1-0 dan Persekabpas
Pasuruan 3-2. Pada pertandingan away, Persib pun berhasil menahan
Persija Jakarta di Stadion Lebak Bulus dan Persikota Tangerang di
Stadion Benteng.
Namun, memasuki partai keenamnya di bawah besutan Iurie, kinerja
Persib kembali melorot. Bermain imbang tanpa gol dengan Sriwijaya FC.
Dalam sebuah pertandingan tanpa penonton di lapangan Pusdikpom Cimahi.
Kemenangan 1-0 atas Semen Padang melalui tendangan penalti Barkaoui pada
pertandingan berikutnya mulai memunculkan keraguan banyak kalangan
menyangkut kinerja Iurie. Dalam dua partai penutup putaran pertama,
Persib juga dibekap Persita 2-1 dan Persitara Jakarta Utara 3-1.
Memasuki putaran kedua, Iurie memutuskan mendepak Pradith Taweetchai
dan Nipont Chanarwut yang dinilai kurang memberikan kontribusi terhadap
tim. Selain dua pemain Thailand itu, Boy Jati Asmara dan Anwarudin ikut
hengkang karena gerah selalu diparkir di bangku cadangan. Sebagai
gantinya, Iurie mendatangkan dua pemain asing baru, Brahima Traore dari
Burkina Faso dan Ayouck Loius Berty dari Kamerun.
Namun, kehadiran dua pemain asing itu tidak membuat kinerja Persib
meningkat. Malahan, Ayouck dan Brahima lebih banyak duduk di bangku
cadangan karena sering dibekap cedera dan gagal bersaing dengan pemain
lainnya. Dalam enam pertandingan awal putaran kedua, empat di antaranya
partai kandang, Persib tak sekalipun mencatat kemenangan.
Akibat kegagalan meraih kemenangan dalam delapan partai secara
berturut-turut, Persib langsung terjerembab ke posisi juru kunci. Meski
sempat menang 2-1 atas Persikota Tangerang di Stadion Siliwangi, namun
kekalahan 1-3 dari Arema dan 0-1 dari Persekabpas membuat Persib berada
di ujung tanduk. Ancaman degradasi mulai nyata membayang di depan mata.
Ketika itu, bobotoh dan publik sepak bola Bandung mulai pasrah menerima
bencana besar itu.
“Sekarang, bobotoh sudah tahu kalau Persib elehan (kalah terus).
Karena itu, kita sudah pasrah menerima kenyataan pahit Persib akan
terdegradasi ke Divisi I. Meski demikian, kita tidak akan menarik
dukungan terhadap Persib,” kata Heru Joko, Ketua Umum Viking Persib Fans
Club.
Tapi, nasib baik kembali menaungi Persib. Pada tanggal 27 Mei 2006,
gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan sejumlah kota lain di Jawa Tengah.
Akibat bencana tersebut, kota Yogyakarta porak-poranda. Dua tim Divisi
Utama asal Yogyakarta, PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman serta satu tim
Divisi I, Persiban Bantul pun terkena dampaknya. Ketiga tim tersebut
akhirnya menyatakan mundur dari kompetisi sebagai bentuk solidaritas
terhadap warga Yogyakarta yang dilanda bencana.
Sebagai bentuk keprihatinan dan rasa solidaritas, setelah melalui
perdebatan sengit, PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) akhirnya
mengambil sebuah keputusan kontroversial dengan menghapuskan sistem
degradasi pada LI XII/2006. Meski dengan malu-malu, keputusan PSSI dan
BLI itu disambut senyum tipis kubu Persib. “Inilah yang namanya bencana
membawa berkah,” kata Manajer Persib, Yossi Irianto.
Setelah keputusan itu diambil dan kompetisi berjalan tanpa tekanan,
Persib akhirnya bisa keluar dari zona degradasi setelah mencatat hasil
imbang 0-0 dengan Sriwijaya FC di Stadion Gelora Sriwijaya dan membekap
Semen Padang 1-0 di Stadion H. Agus Salim. Meski ditutup dengan
kekalahan 0-1 dari Persitara Jakarta Utara di Stadion Siliwangi, namun
Persib mengakhiri kompetisi di peringkat 12 dari 14 tim di Wilayah
Barat, atau satu strip di luar zona degradasi dengan catatan 7 kali
menang, 8 seri dan 11 kali kalah.
Liga Indonesia 2007
Kendati dianggap gagal, namun duet pelatih Arcan Iurie Anatolievici
dan Manajer Yossi Irianto tetap dipercaya pengurus Persib untuk
melanjutkan tugasnya di LI XIII/2007. Tidak mau mengulangi kesalahan
yang dilakukan pada musim sebelumnya, terutama dalah hal rekrutmen
pemain, Yossi dan Iurie langsung melakukan perburuan pemain yang mereka
nilai berkualitas dan bakal mendukung target juara yang dibebankan Ketua
Umum Persib, Dada Rosada.
Dari jajaran pemain asing, Persib merekrut Nyeck Nyobe Georges
Clement (Kamerun), Patricio Jimenez Diaz, Lorenzo Cabanas (Cili) dan
Christian Bekamenga (Kamerun). Keempat pemain itu bergabung dengan
Reduoane Barkaoui yang menjadi satu-satunya pemain asing yang
dipertahankan. Untuk deretan pemain lokal, Persib memboyong Tema
Mursadat (Persikota Tangerang), Nova Arianto (Persebaya Surabaya), Sonny
Kurniawan (Persija Jakarta), Bayu Sutha (Persema Malang) dan
memulangkan Suwita Pata dari PSIS Semarang serta Aji Nurpijal dari Mitra
Kukar.
Kendati demikian, sebagian besar pemain yang memperkuat Persib pada
LI XII/2006 tetap dipertahankan. Mereka adalah Cecep Supriatna, Edi
Kurnia (kiper), Edi Hafid Murtado, Gilang Angga Kusuma, Cucu Hidayat,
Dicky Firasat, Yaris Riyadi, Eka Ramdani, Erik Setiawan, Salim Alaydrus
dan Zaenal Arief. Namun, Persib gagal mempertahankan Usep Munandar yang
memilih hengkang ke PSMS Medan. Sedangkan Charis Yulianto, Gendut Dony
Christiawan, Try Sutrisno, Deden Hermawan, Enjang Ruhiman, Andi Hidayat,
Angga Syatari, Antonio Claudio, Ayouck Louis Berty, dan Brahima Traore
didepak karena dinilai tidak memberikan kontribusi positif buat tim.
Dengan materi pemain yang dimilikinya, Yossi langsung mencanangkan
target kencang. Juara Liga Indonesia sekaligus mengulang prestasi emas
“”Maung Bandung”” di pentas sepak bola nasional.“Saya tidak mau
terperosok dua kali di lubang yang sama. Kegagalan musim lalu menjadi
cambuk untuk menorehkan prestasi pada musim ini,” katanya.
Untuk mewujudkan ambisinya, Yossi langsung melakukan skenario besar
yang harus dijalani timnya. Baik dari sisi teknis maupun nonteknis,
semuanya digarap serius. Targetnya jelas, memuluskan langkah Persib
menuju tahta juara. Gayungpun bersambut. Prestasi Persib berkibar deras.
Di kandang prestasinya mewangi. Di partai tandang langkah jagoan
Bandung sulit dibendung.
Hasilnya fantastis. Sejak kompetisi digelar, Persib selalu berada di
posisi empat besar. Posisinya yang memungkinkan sebuah tim berkesempatan
mencicipi gelar juara musim kompetisi tahun ini. Posisi yang makin
mendekatkan “”Maung Bandung”” menuju tahta juara. Setelah musim-musim
sebelumnya hanya jadi tim penggembira di hajatan sepak bola nasional.
“Kami memang sudah lama merindukan prestasi manis. Menjejaki langkah
para senior kami yang sudah pernah mencium tropi Presiden. Musim ini,
dengan berserinya prestasi tim, semoga harapan yang terus bertalu di
dada bisa kesampaian,” damba Eka Ramdani, gelandang elegan Persib.
Akankah kapal Persib sampai ke Tanjung harapan di akhir musim
kompetisi nanti? Kita semua mesti menunggu. Kompetisi Liga Indonesia
musim ini banyak melahirkan kejutan. Tidak ada lagi tim yang paling
berpeluang menjadi pemuncak kejuaraan. Semuanya punya kemampuan teknis
setara dan sama-sama berpeluang jadi juara.
Tidak jumawa lebih bijak ketimbang mengobral optimisme tanpa batas.
Pasalnya, semua tim ingin memcatatkan dirinya sebagai tim terakhir yang
melabuhkan trofi Presiden, sebelum kompetisi berganti baju menjadi Liga
Super. Dengan menjadi juara, namanya bakal tercatat indah dalam buku
besar sejarah sepak bola nasional.
“Kami memang sudah menorehkan hasil yang membanggakan. terus bertahan
di posisi empat besar sejak kompetisi digulirkan. Tapi, kompetisi masih
panjang. Pemain tidak boleh puas dengan hasil yang sudah diraih. Untuk
sampai ke tangga juara, masih banyak jalan terjal yang harus dilalui,”
tegas Yossi.
Stadion dan Mess
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA)
Hingga saat ini, Persib masih menggunakan Stadion Si Jalak Harupat untuk memainkan laga kandangnya. Setelah sebelumnya memakai Stadion Siliwangi.
Pada Liga Super Indonesia 2008,
Persib terpaksa harus meninggalkan Stadion Siliwangi setelah terjadi
kerusuhan ketika menjamu Persija Jakarta pada pekan kedua. Ditambah
situasi politik yang sedang memanas akibat berlangsungnya Pemilu 2009, Kepolisian Kota Bandung
tidak lagi mengeluarkan surat izin menyelenggarakan pertandingan di
Stadion Siliwangi bagi Persib. Sebagai alternatif, dipilihlah Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, sebagai "home-base" hingga akhir musim kompetisi.
Berdasarkan permasalahan itulah Pemerintah Kota Bandung
berencana membangun sarana olahraga baru, termasuk stadion, di kawasan
Gedebage. Stadion itu sendiri, yang peletakan batu pertamanya dilakukan
pada awal 2008, ini diproyeksikan untuk menjadi home-base Persib serta untuk menyelenggarakan SEA Games tahun 2011. Stadion ini juga direncanakan untuk digunakan pada Porprov Jawa Barat 2010. Kontrak stadion yang diberi nama Stadion Gelora Bandung Lautan Api
(GBLA) ini diperoleh PT Adhi Karya Tbk dengan nilai Rp495,945 miliar.
Sayangnya, hingga detik ini Stadion GBLA masih belum bisa menjadi home
base resmi Persib, lantaran akses masuk stadion yang belum siap.
Manajemen pun tetap mempertahankan Stadion Si Jalak Harupat sebagai home base dalam melakoni laga-laga resmi.
Untuk lapangan latihan, Persib menggunakan Stadion Persib di Jl.
Ahmad Yani. Stadion yang dulunya dikenal dengan nama Stadion Sidolig ini
direnovasi sejak tahun lalu. Kini di stadion tersebut terdapat lapangan
latihan dengan rumput baru dan trek berlari serta di sampingnya
terdapat mess untuk tempat tinggal para pemain dan staff Persib serta
untuk kantor. Pada pertengahan bulan Juli, diadakan rencana renovasi
tahap kedua, yaitu merenovasi bagian depan stadion yang sekarang ini
hanya merupakan ruko-ruko
tempat menjual pernak-pernik Persib. Rencana ini menimbulkan kerisauan
bagi para pedagang di sekitar Stadion Persib karena mereka tidak akan
mendapat penghasilan jika diwajibkan mengosongkan lahan bisnis mereka.
Sejak diresmikan, pernah terjadi kebocoran dan ambruk akibat pipa air
yang bocor. Belum lagi masalah rumput lapangan yang mengering. Atap
ruang VIP di mess itu sering dipakai. Akhir-akhir ini atap mess juga
bocor akibat musim hujan, sehingga menyebabkan licinnya lantai dan
terganggunya aktivitas. Letak Stadion Persib yang berada di Jl. Ahmad
Yani yang merupakan pusat keramaian juga membuat istirahat para pemain
terganggu dan mudahnya para bobotoh untuk masuk ke dalam stadion. | |